mengenang alm. suster ninuk dwi dalam perjuangan merawat pasien covid-19

Suster Ninuk Dwi

8tangkas - Sudah satu minggu sejak Melanie istriku pamit. Masih kuingat kala itu ia tersenyum dan mengepalkan tangan sambil bersorak "Semangat!". Mata sipitnya menghilang ditelan tawa yang tak berjeda. Ia memang seperti itu, selalu optimis.

Andai saja bukan karena jiwa sosialnya yang tinggi, mana mungkin ia maju menjadi orang terdepan yang siap melayani. Ia memang seperti itu, sejak dahulu kala awal aku mengenalnya.

Pertemuan kami tak sengaja, layaknya drama Korea aku tak sengaja menabraknya yang sedang berlari tergesa ke rumah sakit. Ia jatuh, meringis, aku ingin menolong namun keadaan tak mengizinkan, aku berlalu berlari mengejar waktu, detik terakhir bertemu ibu.

Ibuku sakit parah dan menurut ayah keadaannya semakin memburuk, aku yang masih mahasiswa memburu waktu detik terakhir pertemuan. Alhamdulillah ibu selamat dan dapat melalui masa kritisnya. Dan hal tak kuduga adalah bahwa ia yang kutabrak adalah perawat yang selama ini setia merawat ibu. Jodoh memang punya cara unik untuk mempertemukan dua insan.

"Jangan takut sayang, aku akan baik-baik saja," ucapmu kala pamit.

"Kenapa gak orang lain saja, Bun. Gak mesti Bunda kan?" bantahku.

"Menurut hati nuranimu, tindakan apa yang harus kulakukan di tengah situasi genting dimana aku dibutuhkan." Ia menatapku lekat.

Aku memalingkan wajah, ia telah tahu isi hatiku. Jiwaku menolak namun hati nurani berkata lain.

"Pergilah Sayang dan segeralah pulang," ucapku akhirnya.

Ketika sekolah dialihkan ke rumah dengan pembelajaran online aku yang seorang guru pun stayathome sesuai anjuran pemerintah, tapi tidak untuk Melanieku, ia harus tetap kerja bahkan lebih keras dari sebelumnya.

Awal menangani pasien Corona ia sempat pulang beberapa kali, menolak untuk kusentuh dan terlihat sangat lelah. Ia sempat berujar kekurangan masker dan alat penunjang lainnya, namun sinar matanya tetap optimis bahwa badai akan berlalu.

Di sepertiga malam ketika tak sengaja aku terbangun, kulihat Melanieku berdoa cukup lama dalam linangan air mata. Segala keluh kesah yang selama ini ia pendam tumpah sudah di hadapan Rabb. Aku terpana menyadari bahwa sesungguhnya Melanieku hanyalah wanita biasa, ia lelah, ia ingin berhenti namun tetap bertahan demi kemanusiaan.

Hari ke-4 ia tak lagi pulang, Melanieku bilang tugas semakin padat dan tak memungkinkan untuk pulang.

[Kami kekurangan tenaga medis, Bunda gak pulang dulu.] Pamitnya dalam pesan. Ada yang nyeri ketika setelahnya Melanieku sulit dihubungi. Hatiku mulai meragu.

Aku tetap optimis dan yakin Melanieku akan baik-baik saja hingga teman kerjanya datang lengkap dengan baju Anti virusnya melakukan tes pada aku, ibu dan anak semata wayang kami.

"Istri anda postif, jadi izinkan kami untuk memeriksa anda dan keluarga," ucap seorang dokter teman Melanie di rumah sakit.

Jangan tanya hati bonanza88 ini, jangan tanya rasa yang bergejolak, Ya Allah bagaimana dengan Melanieku kini? Mengapa ia merahasiakan ini dariku?

Aku, ibu dan putra sulungku dinyatakan negatif, namun diharapkan tetap tinggal di rumah hingga empat belas hari ke depan. Kami ditetapkan sebagai ODP (Orang Dalam Pengawas).

[Bunda baik-baik saja, Yah, jangan khawatir. Titip jagoan kita dan ibu ya. Jangan lupa minum vitamin dan stay at home.] Pesannya ketika kutanya kabar.

Ia selalu seperti itu, lebih mengkhawatirkan kami daripada dirinya sendiri.

[Doain Bunda, Yah.]

Pesan terakhirnya yang kudapat. Firasatku mulai berontak namun hati tetap menolak. Melanieku pasti baik. Kini kutahu bahwa pesan itu diketik oleh teman sejawat yang merawat.

"Mana bunda, Yah? Kakak rindu," ucap putraku. Ia memeluk boneka kucing kesayangannya, hadiah dari Melanie di ulang tahunnya yang ke-4.

"Bunda kerja, Nak." Aku memeluk tubuh mungilnya. Apa yang harus kusampaikan?

"Kakak rindu Bunda, boleh telpon?" Ia menatap penuh harap.

Aku menggeleng. Ya Allah, ya Allah, kupeluk erat jagoan kami dalam isak.

Ibu yang tetap sehat di usia senjanya tak kuasa menatapku, berkali ia mengusap sudut netranya. Jangan tanya hati wanita tua itu. Melanie bukan sekedar menantu tapi lebih dari anak kandung, perginya adalah patah hati baginya.

Melanie kembali bahkan dalam sendiri....
Aku pun tak bisa mendampingi. Hanya menatap dari jauh ketika tim medis mengantarkan separuh jiwaku itu ke tempat peristirahatan terakhir.

Belum sempat kukatakan cinta dan sayang padanya, belum puas pula kukecup keningnya, belum hilang aroma tubuhnya yang terkadang bercampur bau alkohol dan tak akan pernah hapus binar harapnya dari ingatku ketika ia melambaikan tangan pamit untuk pergi kala itu. Saat terakhir merekam senyum tulusnya.

Ia pergi dengan cara yang paling ia inginkan, gugur dalam tugas dan kembali dalam senyum. Ia pergi dalam sendiri namun dengan kebanggaan akan profesinya sebagai perawat dan entah kenapa hati ini terasa ikut pergi bersama dengannya. Melanie.

***

"Pakai masker terus, Pak, takut virus ya? Takut itu sama Tuhan Pak jangan dengan Corona. Percuma berkopiah tapi gak ada iman."

Aku tersenyum menanggapi candaan tukang parkir yang menyayat itu. Ingin kumaki, kubungkam mulut kejinya dan mengatakan bila istriku harus mati karena orang-orang bodoh sok pintar sepertinya.

"Sudah, Nak. Kita pulang saja." Ibu yang duduk di sebelahku mengenggam jemari ini. Menguatkan.

Aku mengangguk setelah beberapa kali sudut netra tak henti mengembun.

Seandainya semua bonanza88 meredam ego, seandainya taat dan melindungi diri, semua tak akan setragis ini. Tak bisakah mereka yang abai di sana memikirkan bila Melanie Melanie itu tak sendiri ada keluarga yang menanti mereka kembali. Pulang dalam selamat bukan hanya tinggal nama.



Bola Tangkas Online

 daftar

0 komentar:

Posting Komentar